Sabtu, 15 Juni 2013

Dogma kristologi



I.                   Kata pengantar

Ranting ilmu teologi yang akan bicarakan  disini tidak sejak timbulnya di sebut dogmatika. Banyak nama yang di pakai ahli-ahli sebelumnya ada nama dogmatika . antara lain nama teologi.
Tetapi kemudian memperbanyak rantig dalam ilmu teologi yang disebut juga teologis, sehingga masing-masing ranting itu selanjutnya disebut dengan memakai nama sifat, umpanya histotika, raktarika dan seterusnya. Maka nama-nama itu berbunyi toelogi dogamtika yang di singkat dogmatica atau dogamatika. Nama Dogmatika  sekarng lazim  di pakai  meskipun ada beberapa ahli yang memakai nama lain (calvin institutio, lengkapnya : institutio Religionis christianae: pengajaran Agama  kristen)
Ada bebeparapa landasan  penting dalam ajaran agama Nasrani, salah satunya yang paling pokok adalah doktrin trinitas  atau di sebut jga tritunggal, ini merupakan doktrin yang wajib diimani oleh para penganut nasrani (baik itu katolik, protestan maupun ortodok) karena ini adalah tonggak ajaran  ketuhanan mereka
Alkitab adalah buku yang paling banyak dibaca sepanjang waktu. Ia telah diterjemahkan ke dalam tiap-tiap bahasa yang dikenal. Alkitab mempunyai daya tarik yang sama kuat, baik bagi ahli-ahli fisika nuklir maupun orang-orang yang paling sederhana. Namun, kendati popularitasnya begitu hebat, Alkitab juga merupakan buku yang paling banyak diserang diantara segala buku yang pernah ditulis.
Dalam abad ke-20, kritik terhadap Alkitab tidak saja timbul dari luar agama Kristen, melainkan juga dari dalamnya sendiri. Sekarang ini banyak pemikir digaji untuk menjadi pendeta dan guru sekolah tinggi, yang menggunakan banyak waktu mereka untuk menulis dan menerbitkan karangan-karangannya yang mendeskeditkan Alkitab. Mereka berkata bahwa Alkitab hanyalah merupakan suatu koleksi cerita dan ketakhyulan yang “memuat” ajaran Tuhan.[1]
Untuk lebih jelanya lagi di sini penulis akan  membahasnya di bawah, ,mengenai pengertian dogma, sumber,sifat dogma, kristologi batasan dan problema kajianya, dan masih bnayak pembahasan yang akan di bahas pada sub sub berrikutselanjutnya.
II.                Permasalahan  
A.    Pengertian Dogma
B.     Sumber dan Sifat Dogma
C.     Kristologi (batsan dan problematika)
D.    Daftar Pustaka
III.             Pembahasan
A.    Pengertian Dogma
Dogma adalah  pokok ajaran (tentang kepercayaan dsb) yg harus diterima sebagai hal yang benar dan baik, tidak boleh dibantah dan diragukan[2]
Dogma (dari bahasa Yunani, bentuk jamak dalam bahasa Yunani dan Inggris kadangkala dogmata) adalah kepercayaan atau doktrin yang dipegang oleh sebuah agama atau organisasi yang sejenis untuk bisa lebih otoritatif. Bukti, analisis, atau fakta mungkin digunakan, mungkin tidak, tergantung penggunaan.[3]
Perkataan Dogmatika berhubunga denga kata dogma. Dogma adalah kata benda dari kata kerja dokeinnyang berarti menduga mengira , kemudian dogma berarti buah fikiran yang akui oleh suatu golongan di dalam ssuatu ilmu ump, filsafat. Di dalam alkitab perkataan dogma juga terdapat juga, di situ ia berarti, perintah, hukum (luk, 2;1 : Kis < 17 :7   , Ef , 2;15 , Kis, 16;4) terutama arti yang terdapat  dalam Kis 16;4 mirip sekali sama denga arti dogma pada zaman itu.
Dogma di artikan sebagai berikut;
dogama ialah hasil penyelidikan orang percaya tentang firman Tuhan yang di tentukanoleh Gereja dan di perintahkan untuk di percaya”[4]
Ada kesamaan konsep antara dogma dan aksioma yang digunakan sebagai titik awal untuk analisis logika. Aksioma dapat dianggap sebagai konsep dasar atau 'sudah semestinya demikian' sehingga tak terbayangkan orang akan membantahnya. Dogma juga bersifat sangat mendasar (misalkan, dogma bahwa 'Tuhan itu ada') namun juga mencakup himpunan yang lebih besar dari kesimpulan yang membentuk bidang pikiran (keagamaan) (misalkan, 'Tuhan menciptakan alam semesta'). Aksioma adalah pernyataan yang tidak bisa dibuktikan benar atau salah, atau pernyataan yang diterima atas kegunaannya. Dogma mungkin dapat dianggap sebagai sesuatu yang lebih kompleks, sebuah produk dari bukti-bukti lainnya. Filsafat dan teologi menemukan cara untuk membahas semua pernyataan, baik yang diklasifikasikan sebagai aksioma atau dogma.
Dogma keagamaan, yang dipikirkan secara matang, didasarkan kepada bukti-bukti selain dogma itu sendiri dan akhirnya kepada iman. Mungkin puncak uraian terorganisasi dari sebuah dogma teologi adalah Summa Theologica Katolik Roma yang dicetuskan oleh St Thomas Aquinas, yang mengusulkan hubungan antara iman dan penolakan: "Bila lawan kita tidak percaya akan wahyu Tuhan, maka tidak akan ada cara lain untuk membuktikan obyek-obyek iman melalui penalaran, melainkan hanya dengan menjawab penolakannya atau penyangkalannya —bila memang dia memilikinya— terhadap iman atau kepercayaan tersebut" [5]
B.     Sumber dan Sifat Dogma 

 
 
*      Ketentuan dogma
Dogma mempunyai kuasa dan dogma di  tentukan oleh gereja, tetapi apakah dogma menerima kuasa ini dari gereja? Jawab atas pertanyaan ini terang, kalau kita akan ingat sumber akan dogma, hanyalah Alkitablah yang menjadi sumber. Kalau ada anasir di dalam Dogma yanng atak berasal dari Alkitab, maka anasir ini harus di buang, maka dengan demikian harus  di katakan ; letak kepastian dogma adalah pada  Alkitab. Memeang gereja daat menentukan  dogma tetapi  tiap orang percaya boleh membandingkan dogma-dogma dengan kitab suci dan kalau terdapat dogma yang tidak sesuai dengan fiman Tuhan, maka orang harus berusaha supaya dogma itu di buang ata di ubah oleh gereja.
*      Gereja Yang Menentuukan Dogma
Kepada muruid murid, juga jemaat gereja, di berikan anak kunci kerajaan sorga oleh Tuhan  yesus. Ini berarti bahwa ajaran gereja harus menjadi pegangan bagi orang, dan Tuhan yesus berjanji akan melaksanakan ajaran itu (Mat 16;19)
Jemaat gereja juga dis sebut idag Allah yang hidup, suatu tiag da dasar dari pada hal-hal yang benar (1 Tim 3;15). Perkataan –perkataan ”tiang penopang” dan “dasar kebenaran” juga menyatakan bahwa gereja harus menjadi pegangan adalah gereja yang tidak menurut perintah Tuhan sendiri. Di sinilah gereja untuk menentukan pelajaranya.
Doktrin, dogma dan ajaran-ajaran gereja yanng lain selalu muncul dalam situasi masyarakat tertentu. Semua itu mempunyai persoalan tersendiri. Semua rumn usan iman gereja itu adalah sebuah bentuk tanggapan gereja atas pengulatan aman umat dalam  situasi zaman tertentu pula. Oleh sebab itu , gereja zaman sekarang juga tidak boleh tinggal diam . transformasi dalam diri gereja sangatlah di butuhkan . gereja harus terbuka pada dunia , terbuka pada panggilan dasarnya. Mewartakan injil yesus kristus, pertama-tama bukan mendoktrinasi, malainkan mentransformai. Rumusan iman itu mesti di bahas yang tidak mudah . akan tetapi, man yang kuat pada yesus kristus dan dengan bimbingan roh kudus Allah, gereja mampu mewartakan iman itu secara baik dan benar. Justru semakin memahami dan mengenal lebih jauh, kita akansemakin beriman.[6]
C.    Kristologi: batasan dan problematika kajianya
Kristrologi adalah cabang ilmu teologi yang membicarakan tentang posisi yesus kritus di dalam agama Kristen. Makna kristologi bagi umat Kristriani selalu berkembang  dari masa ke masa , dan tidak pernah mengalami tahap selesai, karena selalu di hubungkan dengan konteks uamt Kristiani  oleh para pemikirnya, makna kehadiran Kristus bagi orang kristen yang di yakini sebagai pemelihara dan penyelamat dunia akhirat dengan setiap persoalan hidup Tema-tema seperti feminisme, teologi pembebasan atau kemerdekaan adalah tema-tema  yang saat ini sedang populer  pada zaman modern, di mana umat kristen terus merenungkan makna  kristus itu. Tema-tema itu di sebabkan adanya penindasan  oleh perang “akskluvisme”, kesenjangan sosial di masyarakat, dan sistem negara  yang terkadang tidak adil pada  seluruh ciptaan, termasuk alam. Kristologi yang di hayati dalam kondisi alam yang rusak karena pemanasan global disebut Kristologi Ekologi (hubungan timbal balik antar sesama mkhluk hidup ). Kristologi yang berfokus pada seluruh ciptaan di sebut Kristologi Kosmik, bahkan yesus kristus di uraikan  di berikan diberikan delapan belas gambaran terkait degan budaya adat-istiadat yang terus berubah.[7]
            Pada mulanya pengakuan gereja kristiani di simpulkan  dalam rumusan pendek “yesus adalah Tuhan” atua “yesus adalah kristus”[8]
*      Abad pertama masehi (Kristologi  menurut perjanjian baru)
Kristologi yang di temukan dari injil berpusat pada sejarah kehidupan Yesus dalam tindaka-tindakanya. Hal tersebut  dapat dilihat melalui beberapa pernyataan tokoh-tokoh di dalam kitab-kitab perjanjian baru. Jawaban –jawaban tentang siapa Yesus, adalah sebagai berikut:
-          Paulus : yesus adalah Kristus yang di salibkan denga di bangkitkan
-          Markus: Yesus adalah Mesias
-          Matius : Yesus adalah Musa Baru, pengajar hukum baru
-          Lukas :  Yesus yang penih denga Roh Kudus, adalah juru selamat semua orang.
-          Yohanes : Yesus adalah sabda yang menjelma sebagai manusia.
Yesus pada zamannya di kenal sebagai orang Nazaret yang bertindak revolusioner, sebagai orang yahudi yang melampauin Hukum Taurat. Dari ajaran –ajaranya itulah orang-orang (Kristen) dari zaman perejanjian baru hingga saat ini mempercayainya sebagai Tuhan.
*      Kristologi Abad 2 -11
Pada abad kedua, Kristologi belum terlalu di perdebatkan, namun sudah terdapat banyak pertanyaan  ontologis tentang krtuhanan Yesus. Masyarakat waktu itu ingin sekali mengetahui siapa yesus sebenarya, dalam kaitanya dangan Allah.[9] Kemudian secara hakekat,terdapat tokoh berbnama Arius yang mengatakan bahwa Allah tetap Allah , dan hanya ada satu, Allah tidak mungkin ada bersatu (sehakikatnya) dengan sesuatu yang terbatas. Menyebut yesus “ anak Allah ” sama artinya menghujat Allah karena yang ilahi dan tak terbatas di satukan di satukan dengan yang jasmani dan terbatas.

*      Abad Pertengahan - Reformasi

Selama Abad pertengahan hingga masa reformasi, ajaran tentang Kristus tidak terlalu banyak berubah, ditandai dengan tafsir filsafat saja oleh orang-orang Yunani. Luther dididik dalam teologi Skolastik, namun berkat pengajaran yang ia terima dari Bapa Gereja Agustinus, dia kemudian merencanakan sebuah perubahan besar. Ia menolak Skolastik bukan karena metodenya, namun karena isi ajarannya. Dengan Roma 1:16-17 dia menemukan "Keadilan Allah" (iustitia Dei)di mana menurutnya sudah tidak ada lagi pada Gereja Roma. Keadilah Allah adalah bahwa setiap manusia dihukum sesuai dengan perbuatannya, namun diselamatkan oleh kasih karunia Allah di dalam Kristus. Pengakuan tertinggi bahwa Kristus yang benar itu mampu menyelamatkan manusia yang berdosa sebagai ajaran yang tertinggi.[10]

*      Modern

Teologi memang selalu mengikuti perkembangan, tidak komprehensif namun framentaris, kontekstual, multikultural, dapat diterima oleh budaya setempat. Teologi Kristen yang berpusat pada kristologi juga demikian, perjumpaan dengan Kristus selalu dialami dalam konteks tertentu, mengindahkan kenyataan hidup umat (Kristen) yang dilayani yang berada dalam pluralisme konteks.
Kristologi dalam perjumpaan dengan umat beragama lain dapat membantu umat Kristen membaca Kristus dengan lebih luas, Kristus dalam Filipi 2:7-8 menyatakan Kristus sebagai manusia, bahkan hamba. Ini komentar dari umat Buddha di Srilanka. Dari Umat Islam, Kristus adalah Nabi, mengikuti Yesus berarti mengikuti nabi dan hidup profetis, menjadi saksi Allah dalam berbela rasa terhadap penderitaan mansuia.Kristus bukan milik ekslusif Gereja lagi, namun terbuka bagi kehidupan universal.
Isu-isu pada zaman modern yang harus dijawab oleh Teologi (Kristologi) sangat beragam, pluralisme, kemiskinan, perang, penderitaan, bencana alam dsb. John Hick mengutip pandangan Knitter tentang keunikan Yesus dalam lima hal[11];
1. Agama lain mungkin juga menjadi bagian dari karya Allah yang ingin menyelamatkan manusia, namun tidak senyata-nyata seperti Kristus, agama lain lebih pada kemungkinan-kemungkinan atau probabilitas.
 2. Dalam dialog antar iman: Kristus sebagai wahyu sangatlah kuat, bahkan terus membuka ruang untuk didiskusikan.
3. Allah sungguh-sungguh berkarya dalam Kristus
 4. Kristus Memedulikan keadilan sosial, dan di sini kasih Kristus dilihat secara hubungan mutualis karena kasih-Nya dibutuhkan dalam situasi ini, yaitu sebagai Teologi Pembebasan pembebas. Dalam pandangan Yesus sebagai Anak Allah adalah Juruselamat secara universal.
5. Tuhan sebagai muara akhir yang transenden dan misteri, hal ini melengkapi kriteria Tuhan yang tidak bisa dijangkau manusia. Kristologi sangat bersifat soteriologis kontekstual yang membangun suatu komunitas manusiawi antar iman.  Kristologi juga ditemukan dalam Christo-Praxis dan Christo-doxi yang terus menerus dan kontekstual. Di sini Kristologi dihadapkan pada mamon yaitu kekuatan materialisme yang membawa kehidupan berpusat pada harta benda.
Tokoh yang palinhg banyak berpengaruh adalah Calvin , khususnya terhadap sebagian besar gereja protestan  di indonesia , baik dalam ajaran maupun tata gerejanya. Selanjutnya pada abad ke-17  dan 18  lahir gereja baptis dan metodis  di Eropa. Calvinisme  juga menyebar ke Afrika dan asia pada umumnya dalam bentuk berbagai sekte dan aliran.[12]









D.    Daftar Pustaka
*      Ali, Mukti,Agama –agama dunia cetakan pertama, PT hanindita Offset, yogyakarta; 1988,

*      Soedarmo,R,  Ikhtisar dogmatika cet ke 17, Gunung Mulia, jakarta; 2011,

*      http://id.wikipedia.org/wiki/Kristologi (di akses pada tanggal 13 juni 2013)





*      http://artikel.sabda.org/dogmatika  (di akses pada tanggal 13 juni 2013)

*      http://giafidrisa.blogspot.com/2011/07/kristologi.html  (di akses pada tanggal 13 juni 2013)





[1] http://artikel.sabda.org/dogmatika
[2] Berdasarkan kamus besar bahas indonesia
[3] http://id.wikipedia.org/wiki/Dogma
[4] R. Soedarmo, Ikhtisar dogmatika cet ke 17, Gunung Mulia, jakarta; 2011, hal 3-4
[5] http://id.wikipedia.org/wiki/Dogma
[6] Ibid hal 6
[7] http://id.wikipedia.org/wiki/kristologi
[8] Mukti Ali, Agama –agama dunia cetakan pertama, PT hanindita Offset, yogyakarta; 1988, h 404
[9] http://giafidrisa.blogspot.com/2011/07/kristologi.html
[10] http://id.wikipedia.org/wiki/Kristologi
[11]http://books.google.co.id/books?id=Bhd_gRTZGtEC&pg=PA140&lpg=PA140&dq=sumber+dan+sifat+dogma&source=bl&ots=qQ4XO_VcVt&sig=pvmR0nL3-1bAkgPrRFHcmQsncvg&hl=id&sa=X&ei=Qra6UZiMDMi5rgeKwICACQ&redir_esc=y#v=onepage&q=sumber%20dan%20sifat%20dogma&f=false
[12] Mukti Ali, Agama –agama dunia cetakan pertama, PT hanindita Offset, yogyakarta; 1988, h  398 (paragraf ke3)

Minggu, 09 Juni 2013

Filsafat Max Scheler



Filsafat Max Scheler

 https://www.google.com/search?q=max+scheler&client=firefox-beta&rls=org.mozilla:id:official&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ei=iWa0Ub-tNoWIrAf-s4GwDw&ved=0CAcQ_AUoAQ&biw=1360&bih=611#facrc=_&imgrc=FE_V_ErMjtoEpM%3A%3Bw_ZFu82VVW0ftM%3Bhttp%253A%252F%252F3.bp.blogspot.com%252F-oiUnscuQfXo%252FTZ68tfMA6HI%252FAAAAAAAAAGk%252FDt9GvBtGXfI%252Fs1600%252FMax%252BScheler.jpg%3Bhttp%253A%252F%252Fbanyubeningku.blogspot.com%252F2011%252F04%252Ffilsafat-fenomenologi-edmund-husserl.html%3B376%3B400
  • Riwayat Hidup
Max Scheler adalah filsuf yang terkenal dari aliran fenomenologi Husserl. Dia dilahirkan di Munchen tahun 1874, mendapat gelar doctor pada tahun 1897 dibawah pimpinan filsuf Rudolf Eucken. Sesudah menjadi tersohor karena karangan-karangannya, maka pada tahun 1928 dia dipanggil ke Frankrut a.M untuk menjadi guru besar. Akan tetapi sebelum mulai tugasnya, dia sudah meninggal dunia, demikianlah secara singkat riwayat hidup Max Scheler.[1]

Max Scheler adalah seorang filsuf Jerman yang berpengaruh dalam bidang fenomenologi, filsafat sosial, dan sosiologi pengetahuan.[1] Ia berjasa dalam menyebarluaskan fenomenologi Husserl.[2] Scheler dilahirkan pada tahun 1874 di Muenchen.[1][2] Ia menempuh studi di Muenchen, Berlin, Heidelberg,dan Jena.[2] Setelah itu, ia menjadi dosen di Jena dan Muenchen, di mana ia berkenalan dengan fenomenologi Husserl.[1][2] Pada tahun 1919, Scheler menjabat guru besar di Koln.[2] Kemudian ia meninggal dunia di Frankfurt pada tahun 1928.[2]
Inti pemikiran filsafat Scheler adalah nilai.[2] Berbeda dengan Mill yang mengatakan bahwa manusia bertindak berdasarkan kepuasan diri, Scheler menyatakan bahwa nilai adalah hal yang dituju manusia.[2] Jika ada orang yang mengejar kenikmatan, maka hal itu bukan demi kepuasan perasaan, melainkan karena kenikmatan dipandang sebagai suatu nilai.[2] Nilai tidak bersifat relatif, melainkan mutlak.[2] Nilai bukan ide atau cita-cita, melainkan sesuatu yang kongkret, yang hanya dapat dialami dengan jiwa yang bergetar dan dengan emosi.[2]
  • Pokok Pemikiran
Disamping Husserl, filsuf lain yang juga terlibat dalam filsafat fenomenologi adalah Max Scheler. Scheler juga menggunakan metode Husserl dan tidak berusaha untuk menganalisa dan menerangkan lebih jauh tentang suatu obyek dan gejala-gejalanya. Bagi Scheler, fenomenologi merupakan “jalan keluar” ketidakpuasannya atas logisisme-transendentalis Immanuel Kant dan Psikologisme Empiris.
Max Scheler berpikir dengan seluruh hati dan jiwanya. Orang seperti Scheler sebetulnya niscaya hanya bisa berpikir secara fenomenologi. Artinya bagi manusia dengan tabi’at semacam itu, cara berpikir yang sesuai ialah terjun dan menenggelamkan diri dalam pengalaman yang kongkrit. Bagi Scheler, yang terutama bukanlah pikiran, yang terutama ialah perbuatan. Berbuat, sekali lagi berbuat, mengalami dan merasakan, itulah dan disitulah letak pengertian menurut Scheler.[2]
Max Scheler merupakan salah satu orang yang sangat mengagumi pemikiran Husserl tentang fenomenologi. Pada awalnya ia memang tidak setuju dan menentang seluruh aliran-aliran falsafah pada waktu itu, tentunya juga dengan metodenya. Buktinya, dari sekian lama ia mencari metode sendiri dan pada akhirnya ia menemukan metode yang menurutnya baik. Metode tersebut adalah metode yang dibawa oleh Husserl yaitu metode fenomenologi.
Scheler mendasarkan metode fenomenologinya kepada hati dan perasaan. Maksudnya, untuk menggapai kebenaran hakiki manusia harus berinteraksi dengan objek sebagaimana teori Husserl. Namun, ketika manusia menghadapi fenomena, yang tampak sebagai kebenaran merupakan adalah sesuatu yang tampak pada hati dan perasaan. Mungkin Scheler tergila-gila dengan cinta atau terjerat virus-virus cinta. sehingga dalam menghadapi fenomen ia menghadapinya dengan cinta.[3]
Selain itu Scheler menambahkan sesuatu di metode fenomenologi Husserl. Inilah diantara yang menjadi ciri has metode Scheler. Scheler mengatakan manusia harus menahan segala sesuatu atau pengakuan dalam menghadapi realita. Manusia harus melepaskan diri dari dari kecendrungan ia atau tidak, begini atau begitu. Sehingga yang tersisa hanyalah realitas dari fenomen itu sendiri.
Selanjutnya, tidak hanya melepaskan dari apa yang telah dijabarkan di atas. Manusia juga harus melepaskan dirinya sendiri dari diri sendiri dan ikatan yang bersifat kegemaran, kesenangan dan terutama dari belenggu hidup yang rendah. Dalam hal ini Scheler tampak sebagai orang yang bijak sana. Karena ia menyarankan untuk melakukan sesuatu yang terpuji sepert jangan sombong, rendah hati dan lain sebagainya.
  • Pandangan  Nilai  Menurut  Max Scheler
Pada bagian ini, kita akan melihat pandangannya mengenai nilai. Bagian ini akan dibagi ke dalam sub-sub: pertama, pemahaman tentang nilai; kedua, hierarki nilai.
Pemahaman tentang Nilai
  • Pengertian tentang Nilai
Untuk memahami pengertian nilai Max Scheler, saya mencoba untuk memisahakan terlebih dahulu dua sifat yang terdapat pada nilai (material dan apriori), kendati Scheler tidak memisahakan pembahasan dua dua sifat nilai ini kedalam point point seperti yang saya lakukan. Akan tetapi, di sini saya mencoba untuk memisahkannya guna memahami pandangannya mengenai nilai tetapi kita tetap diajak unutk mebacanya dalam satu kesatuan.

  • Nilai Material
Nilai itu material. Material di sini bukanlah dalam arti “ada kaitan dengan materi”melainkan sebagai lawan dari formal, materi sebagai “berisi”. Berisi itu berartikualitas nilai tidak berubah dengan adanya perubahan pada barang atau pada pembawanya. Misalnya nilai itu selalu mempunyai isi “jujur”, “enak”, “kudus”,”benar”, “sehat”, “adil”, yang semuanya itu berbeda dan masing-masing memiliki nilai. Contoh lain, misalnya: pengkhianatan seorang teman tidak mengubah nilai persahabatan.
Nilai persahabatan tetap merupakan nilai persahabatan, tidak terpengaruh jika teanku berbalik mengkhianatiku.
  • Nilai Apriori
Nilai merupakan kualitas apriori. Max Scheler mengatakan bahwa kebernilaian nilai itu mendahului pengalaman. Misalnya: apakah makanan tertentu enak atau tidak,harus kita coba dulu. Akan tetapi, bahwa “yang enak” merupakan sesuatu yang positif, sebuah nilai, dan bahwa yang bernilai “yang enak” dan bukan “yang enak’ itu tidak perlu kita coba dulu. Begitu juga kejujuran, keadilan; bahwa kejujuran, Keadilan sendiri merupakan sebuah nilai yang kita ketahui secara langsung begitu kita menyadari apa itu kejujuran dan keadilan. Maka, kejujuran dan keadilan pertama tama bukanlah sebuah konsep mengenai kejujuran dan keadilan melainkan nilai kejujuran dan nilai keadilan.
  • Hierarki Nilai
Scheler percaya bahwa nilai itu tersusun dalam sebuah hubungan hierarki apiori. Dan ini harus ditemukan di dalam hakikat nilai itu sendiri, bahkan berlaku juga bagi nilai yang tidak kita ketahui. Dalam keseluruhan realitas, nilai hanya terdapat satu susunanhierarki yang menyusun seluruh nilai masing-masing memiliki tempatnya sendiri-sendiri. Suatu nilai memiliki kedudukan lebih tinggi atau lebih rendah daripada yang lain. Menurut Max Scheler, kenyataan bahwa suatu nilai lebih tinggi daripada yang laindapat dipahami dalam suatu tindakan pemahaman khusus terhadap nilai, yaitu dengan tindakan preferensi; suatu pemahaman akan tingkat tinggi dan rendahnya suatu nilai.
Disini perlu dibedakan tindakan preferensi dan tindakan memilih. Tindakan memilih merupakan kecenderungan yang telah mencakup pengetahuan tentang keunggulan nilai, sedangkan tindakan preferensi merupakan tindakan mengunggulkan atau mengutamakan, yang diwujudkan tanpa menunjukkan adanya kecenderungan, pemilihan atau keinginan.
  • Penutup
Sebagai seorang filsuf Max Scheler mengarahkan serta mendasarkan pemikirannya pada masalah nilai. Berhadapan dengan pertentangan antara pandangan objektif dan subjektif mengenai nilai. Scheler memandang nilai sebagai suatu kualitas independen yang tidak berbeda dengan benda namun tidak tergantung pada benda; benda adalah sesuatu yang bernilai. Sebagaimana warna hijau tidak berubah menjadi merah jambu manakala objek yang berwarna biru di cat merah jambu, demikian juga halnya dengan nilai yang tetap tidak berpengaruh oleh perubahan yang terjadi dalam objek yang digabunginya. Pengkhianatan seorang sahabat, misalnya, tidak mengubah nilai persahabatan. Namun, meskipun demikian penangkapan akan nilai-nilai tersebut tergantung bagaimana keterbukaan manusia sebagai subjek untuk dapat menangkapnya sebagai.
Nilai dalam pandangan Scheler secara apriori tersusun secara hierarkis dari tingkat yang tinggi menurun ke tingkat lebih rendah. Hierarki ini tidak dapat dideduksikan secara empiris, tetapi terungkap melalui tindakan preferensi, yaitu melalui intuisi preferensi-evidensi. Empat tingkat Hierarki nilai ini terdiri dari, yaitu : pertama, adalah nilai kesenangan -Pada tingkat terendah, kita dapat menemukan deretan nilai-nilai kesenangan dan nilai kesusahan, atau kenikmatan dan kepedihan. Kedua, adalah nilai vitalitas atau kehidupan, yang terdiri dari nilai-nilai rasa kehidupan meliputi yang luhur, halus, atau lembut hingga yang kasat atau biasa, dan juga mencakup yang bagus yang berlawanan dengan yang jelek. Nilai Ketiga terdiri dari nilai-nilai spiritual, yang memiliki sifat tidak tergantung pada seluruh lingkungan badaniah serta lingkungan alam sekitar. Nilai keempat adalah nilai kesucian dan keprofanan. Nilai ini hanya tampak pada kita dalam objek yang dituju sebagai objek absolut.
  • Referensi
(Inggris)John Bohman. 1999. "Scheler, Max". In The Cambridge Dictionary of Philosophy. Robert Audi, ed. 816. London: Cambridge University Press.
Harun Hadiwijono. 1983. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 145-148.
A. Sudiarja. Dkk. Karya Lengkap Diyarkarya. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 2006.
Hassan, Fuad, Stadium General, Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, cet ke-3, 2001.
Harry Hamersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, jakarta: Gramedia, 1983.
Kamus Filsafat karangan Lorens Bagus, Kamus Filsafat,Jakarta: Gramedia, 2005.
Nasution, Hasan Bakti, Falsafah Umum, Jakarta: Gaya Media Pertama, cet I, 2001.
Pasion ; perasaan yang sangat , menggek2 atau menggema
Intiusi ; spontan , tak perlu di analisa  terlebih  dahulu
Tele; jauh